Halaman

Selasa, 20 Mei 2014

Pensiunan Petani


Saya lahir di desa,,,
tinggal dan besar di pedesaan,,,
sehingga merupakan hal yang lumrah adanya
bila tani adalah menjadi mata pencaharian...
hey, it’s rhyme !! :D

Saya sekeluarga merupakan sebagian contoh potongan dari sajak asal-asalan di atas. Kami tinggal di sebuah desa pinggiran, cukup jauh dari kota, sekitar 20-an km selatan kota. Desa yang asri, hijau, dengan hamparan sawah yang luas di tengah desa, dan pohon kelapa yang menghias di setiap pekarangan rumah warganya.

Bukan di desa saya sih, ini di pantai, tapi kurang lebih hijaunya ya kayak gini 

Bapak memiliki beberapa petak sawah yang dahulunya mungkin milik simbah yang diwariskan dan beberapa hasil jerih payah “ngganteni” milik tetangga. Bapak punya pedoman, sawah yang ada di desa kami, ya diusahakn milik orang desa kami sendiri.. kalau mau dijual ya ke orang-orang sendiri, katanya agar warga bisa nggarap sawah, mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dari sawah itu.

Sak selo-selone wong ndesa, sa ora-orane isih ana sawah sing bisa diopeni”  begitu prinsipnya

Sewaktu saya SD, kegiatan hari minggu selain ke TPQ ya ke sawah, diajak bapak. Sekedar mengenalkan itu sawah kita, itu milik simbah, itu milik pak lik, pak dhe, nyabut ketela ditegalan, dan sekedar menyapa petani yang sedang menggarap sawah, saya biasanya dibonceng sepeda onta tua milik bapak. Ketika musim tanam, saya diajak ikut nimbrung nyemplung sawah, ikut “matun”, latihan “ndaut”, nge-“mes”, “ngirim tandur” dan “ngirim mluku” atau bahkan nginjek – injek sawah sebelum di panen, kata bapak biar sawahnya gembur, entahlah... Kebiasaan tersebut terjadi hingga saya SMP menjelang SMA, ketika kakak saya mulai masuk kuliah.

Sekarang umum bapak sudah seksi++ alias “seket siji ++”.  Ngurus kerjaan di kantor aja sudah bikin capek, pulang sore, belum lagi karena sebagai PNS, sabtu ya nggak libur, minggu terkadang ada tambahan kerjaan, kondangan dll. Belum lagi kemaren sempet masuk RS, hampir 4 bulan waktu pemulihan. Sawah malah nggak keurus. Akhirnya, bapak memutuskan sawah-sawah yang ada biarlah di “garap” para sanak famili dan tetangga rumah.


Kini “pawon” sudah tak penuh lagi dengan karung-karung gabah. Liburan tak lagi di isi dengan njemur gabah di pelataran rumah. Tak lagi ada botol-botol obat semprot padi di belakang rumah. Bapak ngaso total. Nyawah tak lagi seperti dulu, kini nyawah si bapak nengok-nengok kondisi sawah garapan. Menikmati hijau pohon mahoni di jalan sawah di desa kami. Ya, mungkin bapak kini menjadi pensiunan petani, veteran petani atau apalah istilah lain yang sesuai.



.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar