Saya lahir di desa,,,
tinggal dan besar di pedesaan,,,
sehingga merupakan hal yang lumrah adanya
bila tani adalah menjadi mata pencaharian...
hey, it’s rhyme !! :D
Saya sekeluarga merupakan sebagian
contoh potongan dari sajak asal-asalan di atas. Kami tinggal di sebuah desa
pinggiran, cukup jauh dari kota, sekitar 20-an km selatan kota. Desa yang asri,
hijau, dengan hamparan sawah yang luas di tengah desa, dan pohon kelapa yang
menghias di setiap pekarangan rumah warganya.
Bukan di desa saya sih, ini di pantai, tapi kurang lebih hijaunya ya kayak gini |
Bapak memiliki beberapa petak
sawah yang dahulunya mungkin milik simbah yang diwariskan dan beberapa hasil
jerih payah “ngganteni” milik tetangga. Bapak punya pedoman, sawah yang ada di
desa kami, ya diusahakn milik orang desa kami sendiri.. kalau mau dijual ya ke orang-orang
sendiri, katanya agar warga bisa nggarap sawah, mampu mencukupi kebutuhan
hidupnya dari sawah itu.
“Sak selo-selone wong ndesa, sa ora-orane isih ana sawah sing bisa diopeni” begitu prinsipnya
Sewaktu saya SD, kegiatan hari
minggu selain ke TPQ ya ke sawah, diajak bapak. Sekedar mengenalkan itu sawah
kita, itu milik simbah, itu milik pak lik, pak dhe, nyabut ketela ditegalan, dan
sekedar menyapa petani yang sedang menggarap sawah, saya biasanya dibonceng
sepeda onta tua milik bapak. Ketika musim tanam, saya diajak ikut nimbrung
nyemplung sawah, ikut “matun”, latihan “ndaut”, nge-“mes”, “ngirim tandur” dan “ngirim
mluku” atau bahkan nginjek – injek sawah sebelum di panen, kata bapak biar
sawahnya gembur, entahlah... Kebiasaan tersebut terjadi hingga saya SMP
menjelang SMA, ketika kakak saya mulai masuk kuliah.
Sekarang umum bapak sudah seksi++
alias “seket siji ++”. Ngurus kerjaan di
kantor aja sudah bikin capek, pulang sore, belum lagi karena sebagai PNS, sabtu ya
nggak libur, minggu terkadang ada tambahan kerjaan, kondangan dll. Belum lagi
kemaren sempet masuk RS, hampir 4 bulan waktu pemulihan. Sawah malah nggak keurus. Akhirnya,
bapak memutuskan sawah-sawah yang ada biarlah di “garap” para sanak famili dan
tetangga rumah.
Kini “pawon” sudah tak penuh lagi dengan
karung-karung gabah. Liburan tak lagi di isi dengan njemur gabah di pelataran
rumah. Tak lagi ada botol-botol obat semprot padi di belakang rumah. Bapak ngaso
total. Nyawah tak lagi seperti dulu, kini nyawah si bapak nengok-nengok kondisi
sawah garapan. Menikmati hijau pohon mahoni di jalan sawah di desa kami. Ya,
mungkin bapak kini menjadi pensiunan petani, veteran petani atau apalah istilah
lain yang sesuai.
.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar